11 Kiat Sukses Meraih Kemabruran

Sumber : Buku Perjalanan Haji 2017 M / 1438 H, KBIH An Namiroh Darul Arqam Garut

Ibadah haji adalah ibadah fisik dan mental, selain juga ibadah bekal. Kegagalan dalam pelaksanaan ibadah ini umumnya disebabkan oleh kelemahan mental atau tidak memiliki persiapan mental yang cukup. Seringkali ditemukan jema’ah yang tidak mencerminkan bahwa dirinya sedang melaksanakan ibdah haji karena tidak memiliki perbedaan antara kebiasaan hidupnya di tanah air dengan di tanah suci. Apalagi setelah usai kembali ke kampung halamannya tidak sedikit dari jema’ah itu yang tidak ada bekas apapun dari setelah melaksanakan hajinya.

Untuk itu, KBIH An Namiroh Darul Arqam Garut, ingin memberikan tips anjuran yang perlu direnungkan sebagai bahan pendamping dalam melaksanakan ibadah haji. Dengan harapan mudah-mudahan menjadi haji mabrur itu tidak hanya dalam angan-angan dan ucapan, akan tetapi mewujud dalam kehidupan keseharian kita.

Berikut ini sebelas (11) kiat sukses untuk meraih kemabruran :

1. Meluruskan NIAT

Orang yang melaksanakan ibadah haji memiliki motif dan niat yang beragam, mulai dari yang merasa malu jika belum haji, ada yang hanya menunaikan wasiat orang tua, ada yang sekedar melanjutkan tradisi keluarga, ada yang ingin lebih berpengaruh di lingkungannya hingga ada juga yang sekedar mengharap kekayaannya lebih banyak lagi..dll.. Motif dan niat itu sah-sah saja meski sangat berpengaruh terhadap nilai kemabrurannya,
Niat ibadah haji yang lurus ialag orang yang melaksanakan ibadah haji hanya semata karena Allah, meyakini akan panggilan-NYA, hanya memenuhi kewajiban sesua perintah-NYA dan tiada harapan kecuali hanya keridloan-NYA.

2. Menumbuhkan Rasa SYUKUR

Tidak setiap orang mampu dan terpanggil untuk melaksanakan ibadah haji, mereka yang secara dzohir telah berniat dan bersiap-siap pun dapat saja terhalang. Oleh karenanya mereka yang sudah ditakdirkan dapat melaksanakannya semestinya senantiasa bersyukur kepada Allah SWT. Bersyukur bahwa panggilan yang ditunggu ini telah tiba, semua syaratnya telah terpenuhi dan kini sedang berjalan menuju Baitullah. Sikap bersyukur akan menjadikan nikmatnya akan semakin bertambah, akan menjauhkan dari azab, akan disayang Allah dan terhindar dari sifat-sifat kufur (ingkar). Nabi Ibrahim a.s sebagai peletak ketauhidan kepada Allah dan yang memproyeksikan ibadah haji adalah seorang hamba Allah yang bersyukur. “Syaakiron lian’umihi Ijtabaahu wa hadaahu ilaa shirotin mustaqiim” : Dia (Ibrahim) orang yang bersyukur terhadap nikmat-nikmat Tuhannya, lalu Allah mengabulkan segala permohonannya dan menunjukinya ke jalan yang lurus.

(QS. An Nahl : 121)

3. Menyertakan SABAR

Dibanding ibadah mahdloh lainnya, ibadah haji relative lebih berat, karena berhubungan dengan seluruh aspek : Fisik, mental, bekal, ilmu, dll. Ditambah perjalanannya sangat jauh dan penuh dinamika – tidak aneh kalau ada orang yang menyebutkan bahwa ibadah haji sebagai ibadah perjuangan. Kesabaran merupakan modal utama dalam perjuangan, jika tidak, maka ibadah haji akan terasa sebagai siksaan yang memberatkan. Jema’ah yang kurang sabar biasanya selalu berkeluh kesah, banyak protes, dan akhirnya dia tidak mampu menikmati rangkaian ibadah, wajahnya kelihatan kusut,cemberut, berkerut dahi. Dan tindakan semua orang akan selalu disalahkannya. Washbir nafsaka ma’alladziina yad’uuna robbahum bilghodati wal’asyiyyi yuridu zinatallahi : Bershabarlah dirimu bersama orang-orang yang memohon kepada Tuhan mereka di waktu pagi dan siang karena mengharap perhiasan dari Allah.

4. Mengikuti Manasik yang BENAR

Haji adalah suatu ibadah yang perlu ilmu untuk menjalankannya. Tata cara menjalankan haji namanya manasik. Kenapa demikian ? karena nabi Muhammad s.a.w juga mengharuskan kita mengikuti manasik yang sesuai dengan yang telah dicontohkannya “Khudzuu ‘annii manaasikakum” (Ambillah dariku tata cara kalian melaksanakan haji). Begitu pula para sahabat beliau waktu itu sejumlah tidak kurang dari seratus ribu orang mengikuti nabi dalam haji wada’, tidak lain kecuali ingin menyaksikan dan mengikuti tata cara beliau melaksanakan haji, malah ada diantara sahabat yang tahun sebelumnya telah melaksanakan haji bersama Abu Bakar, namun akhirnya berangkat lagi bersama Rasulullah s.a.w dalam haji wada’ itu.
Banyak sekali pihak yang memaksakan diri dengan ilmu seadanya, akhirnya dia berbuat apa yang tidak semestinya diperbuat dan meninggalkan apa yang semestinya dikerjakan. Akhirnya ibadahnya didasarkan pada asumsi dan prasangka dan bukan pada dalil dan keterangan yang syara’ (agama). Tentu akhirnya ini terkesan menyaingi rasul dalam ibadahnya, sehingga dibuat oleh prasangka dirinya tanpa dasar ilmu, atau hanya ikut-ikutan pada pihak lain. Padahal rasulullah s.a.w telah memberi statement yang jelas : man’amila ‘amalan laisa lahu amrunaa fahuwa rooddun” (barangsiapa yang berbuat suatu perbuatan yang tidak ada perintah/contoh dariku maka amalannya ditolak)..na’udzubillah..

5. Menghayati Sejarah Ibadah HAJI

Ibadah haji adalah ibadah yang mendasarkan aturan pada fragmen sejarah nabi, pelaksanaan thowaf, sa’i, wukuf, jumroh, hadyu dan yang lainnya memiliki akar syari’at pada kesejarahannya.
Menghayati sejarah haji tentu menjadi penting bagi orang yang melaksanakan ibadah haji, sebab tentu akan beda perasaan kita ketika melakukan sesuatu hal jika mengetahui apa sejarah yang melatarbelakangi hal itu. Ibarat kita menikmati hidup di rumah tempat tinggal kita karena sejarah kita memperjuangkannya begitu sulit.

6. Menjaga Akhlak SYAKHSIYYAH dan JAM’IYYAH

Ibadah haji dilakukan bukan hanya sendirian tapi bersama sama yang lain secara berombongan atau berjama’ah, yang berangkat bukan hanya orang perorang, atau pasangan perpasangan tapi kelompok dan tim yang banyak dari latar belakang yang beragam, baik pendidikannya, pengetahuannya, tingkat sosial ekonominya, budayanya, adat kebiasaannya, karakter kesehariannya dan seterusnya. Akhlak Syakhsiyyah ialah akhlak pribadi yang langsung berhubungan dengan Allah dan kita mampu menjaga akan kondite kita pribadi sebagai tamu Allah dijaga sehingga kita terus menerus dalam posisi sadar, tidak suka marah,tidak suka riya,sombong,merasa tinggi hati, haus pujian dan ingin dihormati dsb.
Akhlak jam’iyyah ialah akhlak bergaul dan berbaur serta bermasyarakat dengan orang lain, dalam ibadah haji akhlak berjama’ah ini menjadi penting, amal-amal yang dikerjakan menjadi amal jama’i. Beberapa akhlak jam’iyyah yang perlu diupayakan seperti gemar menolong, mendahulukan kepentingan yang lain, menghormati yang tua, menghargai yang muda, tenggang rasa terhadap perbedaan apapun, rela berkorban demi orang lain, menjaga kata agar tidak menyakiti perasaan, tetap menjaga kemurahan raut muka dst. “Dan mereka mengutamakan (saudaranya) atas dirinya, walaupun mereka juga memerlukannya (QS. Al Hasr : 9). Demikian juga sabda rasulullah s.a.w : “Tangan Allah bersama jama’ah”.

7. Memahami Hikmah IBADAH

Hikmah ialah mengetahui kandungan sesuatu, mengetahui kaitan sebab akibat, mengetahui penciptaan dan perintah, mengetahu takdir dan syariat. Imam mujahid dan Imam Malik menjelaskan bahwa hikmah itu merupakan pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalan, ketepatan antara kata dan perbuatan.
Bagian-bagian dalam ibadah haji, baik itu niat, talbiyah, thowaf, sa’i, mabit, jumroh, hadyu, thowaf ifadloh, thowaf wada’ dan lainnya itu mesti difahami hikmahnya, bukan sekedar melakukan, melainkan merenungkan apa yang ada dibalik semua amalan itu, dan apa yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita telah memahami hikmahnya tentu dzikir kita di tanah haram akan ikut bergerak ke tanah air, dzikir itu akan ikut bergerak ke tempat kerja kita, ke tempat usaha kita, kemanapun kita pergi.
“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakinya, barangsiapa diberi hikmah maka ia telah diberikan kebaikan yang banyak, tidaklah faham akan hal itu kecuali ulu albaab (QS. Al Baqoroh : 269)

8. Mengorientasikan Diri ke MESJID, DZIKIR, BERDOA, dan BACA AL QUR’AN

Hakikat dari dzikir ialah mengingat Allah dengan cara memperbanyak tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir. Tanah suci adalah ruang strategis untuk memperbanyak dzikir kepada Allah. Makkah dan Madinah adalah tempat yang khusus dan tiada di tempat lain yang menyamai dalam keagungannya merupakan sarana untuk lebih fokus beribadah, berdo’a dan mengadukan berbagai hal kepada Allah dan meraih pahala yang sebanyak-banyaknya. Dua mesjid Al Haram dan An Nabawi tempat kita dimotivasi untuk memperbanyak sholat didalamnya, demi menggapai pahala kebaikan yang besar. Kedua mesjid itu adalah rumah menuju hidayah Allah. Tambatkanlah hati kita untuk mencintainya, menghormatinya. Satukanlah antara hati, pikiran untuk selalu melangkah menuju masjid itu hingga hidayah itu didapatkan. Kemabruran itu diantaranya mendapat hidayah Allah.

9. Mengatur waktu dengan BAIK

Kemabruran juga ditentukan oleh kemampuan mengatur waktu, ibadah ialah tujuan pokok, akan tetapi badan kita juga memiliki hak yang perlaru diperhatikan. Istirahat yang cukup akan sangat menunjang keseriusan kita beribadah, jika tubuh kita prima, maka kita akan stabil beribadah. Janganlah terlalu memporsir diri mengejar yang sunat apalagi yang keterangan dalilnya lemah atau malah tidak ada, namun ketika kita masuk kepada yang pokoknya ibadah haji harus dijalankan, tubuh kita sudah ambruk tak berdaya. Akhirnya pelaksanaan ibadah pokok jadi terbengkalai dan kehabisan tenaga serta perhatian kita menjadi kabur karena kita sudah kelelahan dengan terlalu intens melakukan yang sunat secara berlebihan.
Demikian pula dengan ziarah, mengunjungi tempat bersejarah ataupun berbelanja hendaknya diatur sedemikian rupa. Memang sudah menjadi tradisi jemaah setiap berangkat haji selalu dibekali dengan “Daftar Menu” belanjaan yang harus dibeli, jika tidak mampu mengatur waktu, bukan tidak mustahil baru datang dua hari di tanah suci kopor bawaan sudah beranak pinak. Maka sikap boros seperti itu akan mengakibatkan shalat pun menjadi tidak khusyu, karena pikiran kita dipenuhi rencana-rencana belanja ini itu di toko yang dilewati. Dan begitu pulang kepondokan maka tangan direpotkan oleh jinjingan yang banyak, dan menjadikan ruang kopor semakin berat.

10. Menikmati Perjalanan Ibadah dan Bersikap QONA’AH

Qona’ah artinya merasan cukup dengan yang ada. Dalam pengalaman hidup terkadang keinginan dan selera kita sangat tinggi dan ideal, tetapi kenyataannya berbicara lain. Jiwa yang mabrur adalah jiwa yang menerima apapun yang ada dan menikmati apapun pemberian Allah dengan gembira dan suka cita.
Kemudian perjalanan ibadah haji tidak senantiasa sesuai rencanam sebaik apapun program yang telah direncanakan, yang memutuskan tetaplah Allah. Maka kita harus senantiasa menikmati yang kita dapatkan tanpa menggerutu dan keluh kesah apalagi mengumbar amarah. Di tanah suci bukan berarti kita terbebas dari ujian, justru sebaliknya ujian akan datang bertubi-tubi. Yang mabrur adalah orang yang memiliki kelapangan jiwa menerima apapun yang dihadapi. Dalam pengalaman hidup kita seringkali kita temukan bahwa yang kita dapatkan adalah yang tidak kita inginkan. Dan apa yang kita inginkan justru tidak kita dapatkan. Maka kuncinya tetap menjaga sikap tawadhu dan ikhlas menerima apapun yang didapatkan oleh kita.

11. Meninggalkan Status / Symbol dan AKSESORIS KEDUNIAAN

Yang terkadang menghambat kelancaran ibadah adalah status yang melekat dengan diri kita dan dibawa-bawa ke tanah suci, apakah kita pengusaha, pejabat,anggota parlemen, perwira, dosen, guru besar, kiyai, ustadz, tokoh masyarakat dan lain-lain. Ini tidak jarang menjadi batu sandungan untuk tidak menerima nasib kita dengan ikhlas, karena kita selalu ingin memposisikan diri dengan status diri kita di tanah air, maka karakter yang muncul bukan ingin membantu dan melayani tetapi sebaliknya, semua orang harus mematuhi dan melayani dirinya, pikirannya semua orang harus taat atas perintahnya. Perasaannya tak mampu dikorbankan, ia ingin selalu mendapat penghargaan orang lain dan mendapat keistimewaan. Dalam menentukan tempat ingin selalu yang istimewa seukuran atau lebih dari apa yang ia nikmati di kampung halamannya atau karena sudah merasa membayar ikut bimbingan maka ia merasa harus dilayani, tak mau berbagi tenaga dengan sesama atau toleran terhadap kekurangan-kekurangan layanan, dalam pikirannya sebagai “tamu” ia adalah “tuan besar” yang bisa bertitah apa saja.
Oleh karenanya ketika berhaji seluruh status simbol itu sebaiknya ditinggalkan dulu dan diganti dengan status “hamba ALLAH” yang tengah memenuhi panggilannya, menyatukan posisi yang sama dengan orang lain sebagai pihak yang sama-sama membutuhkan bantuan dan maghfiroh Allah SWT.

KBIH An Namiroh Darul Arqam Garut